Dokumen tersebut menceritakan kisah Zaman Zulkarnaen, seorang pengacara muda Indonesia yang bekerja di firma hukum bergengsi Thompson & Co. di London. Dia ditugaskan untuk menangani kasus warisan senilai satu miliar poundsterling (sekitar 19 triliun rupiah) dari seorang wanita tua Indonesia bernama Sri Ningsih, yang meninggal di panti jompo di Paris.
Awalnya, Zaman tidak terlalu tertarik dengan Thompson & Co., tetapi profesor pembimbingnya di Oxford menjelaskan bahwa firma tersebut adalah legenda di bidang hukum warisan, didirikan oleh seorang pahlawan perang, Thompson Senior, yang membangun fondasi hukum warisan modern. Thompson & Co. dikenal karena menjauhi publikasi dan fokus pada penanganan warisan secara adil, bukan sebagai “pemburu warisan” yang serakah.
Zaman kemudian pergi ke Paris untuk menyelidiki kehidupan Sri Ningsih. Di panti jompo La Cerisaie Maison de Retraite, dia bertemu Aimée, pengurus panti, yang menceritakan sekilas kehidupan Sri Ningsih selama 16 tahun terakhir di sana. Sri Ningsih adalah sosok yang ceria, aktif, dan sempat menjadi guru tari tradisional, bahkan berkeliling dunia. Namun, Aimée tidak tahu banyak tentang keluarga atau tempat kelahiran Sri Ningsih.
Satu-satunya petunjuk yang Zaman dapatkan adalah sebuah buku harian tipis milik Sri Ningsih. Di halaman pertama buku itu, tertulis “Juz Pertama. Tentang kesabaran. 1946-1960” dan ditempel foto remaja perempuan dengan tulisan “SRI” di perahu, serta papan nama “Bungin” di belakangnya. Zaman menyadari bahwa “Bungin” adalah kunci untuk melacak asal-usul Sri Ningsih.
Dengan bantuan pilot pesawat jet pribadinya, Razak, Zaman berhasil mengidentifikasi “Bungin” sebagai Pulau Bungin di Sumbawa, yang dikenal sebagai pulau terpadat di dunia. Dia segera terbang ke sana.
Di Pulau Bungin, Zaman berusaha mencari penduduk yang masih mengingat kejadian tahun 1940-an untuk menanyakan tentang Sri Ningsih. Setelah beberapa hari mencari tanpa hasil, dia akhirnya bertemu dengan seorang nelayan tua bernama Pak Tua (Ode) yang mengenal Sri Ningsih. Pak Tua mengungkapkan bahwa Sri Ningsih adalah putri sulung dari keluarga Nugroho dan Rahayu, yang tiba di Pulau Bungin pada tahun 1944. Nugroho adalah seorang pelaut Jawa yang kehilangan pekerjaannya dan memutuskan untuk menjadi nelayan di Pulau Bungin bersama istrinya setelah mengalami beberapa insiden tragis. Pak Tua berjanji akan menceritakan kisah Sri Ningsih secara detail.